BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan mempunyai posisi dan peran penting dalam setiap aktivitas
berpikir manusia. Ilmu Pengetahuan berasal dari dua kata, yaitu ilmu dan
pengetahuan, kedua kata tersebut mempunyai dua makna berbeda. Ilmu merupakan
pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode
tertentu, sedangkan Pengetahuan adalah sesuatu yang kita ketahui. Pada awalnya,
ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia relatif masih sederhana dan belum
berkembang.Tetapi seiring berjalannya waktu, ilmu pengetahuan mengalami
perkembangan yang pesat.Dengan ditemukannya banyak teori-teori, teknologi, dan
hal-hal lainnya. Perkembangan pesat ilmu pengetahuan pada masa sekarang
berbanding lurus dengan sikap kritis dan cerdas manusia dalam menanggapi
berbagai peristiwa di sekitarnya.Namun dalam perkembangannya, timbul gejala
penurunan derajat manusia.Hal ini dikarenakan produk yang dihasilkan oleh
manusia, baik itu suatu teori mau pun materi menjadi lebih bernilai ketimbang
penggagasnya.Oleh karenaitu, Penerapan Nilai-nilai Pancasila dalam pengembangan
ilmu pengetahuan di Indonesia harus diperkuat, agar bangsa Indonesia tidak
terjerumus pada pengembangan ilmu pengetahuan yang saat ini semakin jauh dari
nilai-nilai kemanusiaan.
- Rumusan Masalah
- Apa yang dimaksud dengan pancasila sebagai dasar nilai pengembangan ilmu?
- Apa yang dimaksud
pancasila sebagai ilmu dan perspektif historis?
- Apa yang dimaksud
pancasila sebagai aspek dalam ilmu pengetahuan?
- Apa yang dimaksud
pancasila sebagai pilar penyangga bagi eksistensi ilmu pengetahuan?
- Apa yang dimaksud pancasila sebagai prinsip-prinsip berpikir ilmiah?
- Apa yang dimaksud pancasila sebagai masalah nilai dalam
iptek?
- Apa yang dimaksud strategi pengembangan IPTEK pancasila sebagai dasar nilai?
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Pancasila Sebagai Dasar Nilai
Pengembangan Ilmu
Dalam
upaya manusia mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan harkat dan martabatnya
maka manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (Iptek) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia.Unsur jiwa (rohani) manusia meliputi aspek
akal, rasa, dan kehendak. Akal merupakan potensi rohani manusia dalam hubungan
dengan intelektualitas, rasa dalam bidang estetis, dan kehendak dalam bidang
moral (etika). Atas dasar kreativitas akalnya manusia mengembangkan iptek dalam
rangka untuk mengolah kekayaan alam yang sediakan oleh Tuhan yang Maha Esa.
Oleh karena itu tujuan essensial dari Iptek adalah demi kesejahteraan umat
manusia, sehingga Iptek pada hakikatnya tidak bebas nilai namun terikat oleh
nilai. Dalam masalah ini Pancasila telah memberikan dasar nilai-nilai bagi
pengembangan Iptek demi kesejahteraan hidup manusia. Pengembangan Iptek sebagai
hasil budaya manusia harus didasarkan pada moral Ketuhanan dan kemanusiaan yang
adil dan beradab. Pancasila yang sila-silanya merupakan suatu kesatuan yang
sistematis haruslah menjadi sistem etika pengembangan Iptek.
Pancasila sebagai filsafat ilmu
harus mengandung nilai ganda, yaitu:
- Harus memberikan landasan teoritik
(dan normatif) bagi penguasaan dan pengembangan iptek dan menetapkan tujuannya.
- Memiliki nilai instrinsik tujuan
iptek yang senantiasa dilandasi oleh nilai mental kepribadian dan moral
manusia. Nilai-nilai kualitatif dan normatif secara kategoris harus terkandung
dalam ajaran filsafat. Kualitas dan identitas nilai mental dan kepribadian
manusia senantiasa berhubungan dengan nilai filsafat dan atau agama.
Kedudukan
filsafat ilmu harus berasaskan kerokhanian dari sistem keilmuan dan
pengembangannya. Fungsi mental dan moral kepribadian manusia dalam implemantasi
iptek merupakan kriteria yang signifikan suatu keilmuan. Keilmuan harus
berorientasi praktis untu kepentingan bangsa. Selain itu, kebenaran yag dianut
epistomologis Pancasila prinsip kebenaran eksistensial dalam rangka mewujudkan
harmoni maksimal yang sesuai taraf-taraf fisiokismis, biotik, psikis, dan human
dalam rangka acuan norma ontologis transedental. Dengan pendekatan pencerdasan
kehidupan bangsa, epsitomologis Pancasila bersifat terbuka terhadap berbagai
aliran filsafat dunia (Dimyati, 2006).
- Ilmu dan perspektif historis
Ilmu pengetahuan berkembang melangkah secara
bertahap menurut dekade waktu dan menciptakan jamannya, dimulai dari jaman
Yunani Kuno, AbadPertengahan, Abad Modern, sampai Abad Kontemporer.
Masa Yunani Kuno (abad ke 6
SM – 6 M) saat ilmu pengetahuan lahir, kedudukan ilmu
pengetahuan identik dengan filsafat memiliki corak mitologis. Alam dengan berbagai aturannya
diterangkan secara theogoni, bahwa
ada peranan para dewa yang merupakan unsur penentu segala sesuatu yang ada.
Bagaimanapun corak mitologis ini telah mendorong upaya manusia terus menerobos
lebih jauh dunia pergejalaan, untuk mengetahui adanya sesuatu yang eka, tetap,
dan abadi, di balik yang bhinneka, berubah dan sementara ( T. Yacob, 1993).
Setelah timbul gerakan demitologisasi yang dipelopori filsuf pra
Sokrates, yaitu dengan kemampuan rasionalitasnya maka filsafat telah mencapai puncak perkembangan,
seperti yang ditunjukkan oleh trio filsufbesar : Socrates, Plato dan
Aristoteles. Filsafat yang semula bersifat mitologis berkembang menjadi ilmu
pengetahuan yang meliputi berbagai macam bidang.Aristoteles membagi ilmu
menjadi ilmu pengetahuan poietis (terapan), ilmu pengetahuan praktis (etika,
politik) dan ilmu pengetahuan teoretik. Ilmu pengetahuan teoretik
dibagi menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan filsafat pertama atau kemudian disebut
metafisika.
Memasuki Abad Pertengahan (abad ke-5 M), pasca Aristoteles
filsafat Yunani Kuno menjadi ajaran
praktis, bahkan mistis, yaitu sebagaimana diajarkan oleh Stoa, Epicuri,
dan Plotinus. Semua hal tersebut bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Romawi
yang mengisyaratkan akan datangnya tahapan baru, yaitu filsafat yang harus
mengabdi kepada agama (Ancilla Theologiae).
Filsuf besar yang berpengaruh saat itu, yaitu Augustinus dan Thomas Aquinas,
pemikiran mereka memberi ciri khas pada filsafat Abad Pertengahan.
Filsafat Yunani Kuno yang sekuler kini dicairkan dari antinominya dengan
doktrin gerejani, filsafat menjadi bercorak teologis. Biara tidak hanya menjadi pusat kegiatan
agama, tetapi juga menjadi pusat kegiatan intelektual. Bersamaan
dengan itu kehadiran para filsuf Arab tidak kalah penting, seperti: Al Kindi,
Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Gazali, yang telah menyebarkan filsafat
Aristoteles dengan membawanya ke Cordova (Spanyol) untuk kemudian diwarisi oleh
dunia Barat melalui kaum Patristik dan kaum Skolastik. Wells dalam karyanya The Outline of History(1951)
mengatakan, “Jika orang Yunani adalah Bapak metode ilmiah, maka orang
muslim adalah Bapak angkatnya”.
Muncullah Abad Modern (abad ke 18-19 M) dengandipelopori oleh gerakan Renaissance di abad
ke 15 dan dimatangkan oleh gerakan Aufklaerung di abad ke-18, melalui
langkah-langkah revolusionernya filsafat memasukitahap baru atau modern.
Kepeloporan revolusioner yang telah dilakukan oleh anak-anak Renaissance dan
Aufklaerung seperti: Copernicus,
Galileo Galilei, Kepler, Descartes dan Immanuel Kant, telah memberikan
implikasi yang amat luas dan mendalam. Di satu pihak otonomi beserta segala
kebebasannya telah dimiliki kembali oleh umat manusia, sedang di lain pihak
manusia kemudian mengarahkan hidupnya ke dunia sekuler, yaitu suatu kehidupan pembebasan dari kedudukannya
yang semula merupakan koloni dan subkoloni agama dan gereja. Agama yang semula
menguasai dan manunggal dengan filsafat segera ditinggalkan oleh filsafat.
Masing-masing berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikiran
sendiri (Koento Wibisono, 1985)
Dalam perkembangan berikutnya filsafat ditinggalkan oleh ilmu-ilmu cabang
yang dengan metodologinya masing-masing mengembangkan spesialismenya
sendiri-sendiri secara intens. Lepasnya ilmu-ilmu cabang dari batang filsafatnya diawali oleh ilmu-ilmu
alam atau fisika, melalui tokoh-tokohnya:
- Copernicus (1473-1543) dengan astronominya menyelidiki
putaran benda-benda angkasa. Karyanya de Revolutionibus Orbium
Caelistium yang kemudiandikembangkan oleh Galileo Galilei (1564-1642)
dan Johanes Kepler (1571-1630), ternyata telah menimbulkan revolusi tidak hanya
di kawasan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga di masyarakat dengan implikasinya
yang amat jauh dan mendalam.
- Versalius (1514 -1564) dengan karyanya De Humani
Corporis Fabrica telah melahirkan pembaharuan persepsi biologi.
- Isaac Newtown (1642-1727) melalui Philosopie
Naturalis Principia Mathematica telah menyumbangkan bentuk definitif
bagi mekanika klasik.
- dalam bidang anatomi dan perkembangan ilmu
pengetahuan alam dan ilmu sosial dengan
gaya semacam itu mencapai bentuknya secara
definitif melalui kehadiran Auguste Comte (1798-1857) dengan Grand Theory–nya
yang digelar dalam karya utama Cours de Philosophie
Positive yang mengajarkan bahwa cara berfikir manusia dan juga
masyarakat di mana pun akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah
melampaui tahap teologik dan metafisik. Istilah
positif diberi arti eksplisit dengan muatan filsafat, yaitu untuk
menerangkan bahwa yang benar dan yang nyata haruslah konkrit, eksak, akurat,
dan memberi kemanfaatan (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 1997).
Metode observasi,
eksperimentasi, dan komparasi yang dipelopori Francis Bacon
(1651-1626) telah semakin mendorong pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan.
Semua itu memberi isyarat bahwa dunia
Barat telah berhasil melakukan tinggal landas untuk mengarungi
dirgantara ilmu pengetahuan yang tiada bertepi.
Battle cry-nya Francis
Bacon yang menyerukan bahwa“knowledge is power” bukan sekedar
mitos, melainkan sudah menjadi etos, telah melahirkan corak dan
sikap pandang manusia yang meyakini kemampuan rasionalitasnya untuk menguasai
dan meramalkan masa depan, dan dengan optimismenya menguasai, berinovasi secara
kreatif untuk membuka rahasia-rahasia alam. Didukung oleh roh kebebasan
Renaissance dan Aufklaerung, menjadikan masyarakat Barat sebagai masyarakat
yang tiada hari tanpa temuan-temuan baru, muncul secara historis kronologis
berurutan dan berdampingan sebagai alternatif.
Revolusi ilmu pengetahuan memasuki Abad
Kontemporer (abad ke-20-sekarang) berkat teori relativitas Einsteinyang telah
merombak filsafat Newton (semula sudah mapan) di samping teori kuantumnyayang telah
mengubah persepsi dunia ilmu tentang
sifat-sifat dasar dan perilaku materi sedemikian rupa sehingga para pakar
dapat melanjutkan penelitian-penelitiannya, dan berhasil mengembangkan
ilmu-ilmu dasar seperti: astronomi, fisika, kimia, biologi molekuler, hasilnya
seperti yang dapat dinikmati oleh manusia sekarang ini (Sutardjo,1982).
Optimisme bersamaan
dengan pesimisme merupakan sikap manusia masa kini dalam menghadapi
perkembangan ilmu pengetahuan dengan penemuan-penemuan spektakulernya. Di satu pihak telah meningkatkan fasilitas
hidup yang berarti menambah kenikmatan. Namun di pihak lain gejala-gejala
adanya malapetaka, bencana alam (catastrophe) menjadi semakin
meningkat dengan akibat- akibat yang cukup fatal.
Berdasarkan gejala yang
dihadapi oleh masing- masing cabang ilmu, Auguste Comte dalam sebuah
Ensiklopedi menyusun hirarki ilmu
pengetahuan dengan meletakkan matematika sebagai dasar bagi semua cabang ilmu.
Di atas matematika secara berurutan
ditunjukkan ilmu astronomi, fisika, kimia, biologi dan fisika sosial atau
sosiologi. Ia menjelaskan bahwa sampai dengan ilmu kimia, suatu tahapan positif
telah dapat dicapai, sedangkan biologi dan fisika sosial masih sangat
dipengaruhi oleh nilai-nilai theologis dan metafisis.
Pemikiran Auguste Comte tersebut
hingga kini menjadi semakin aktual dan relevan untuk mendukung sikap pandang
yang meyakini bahwa masyarakat industry sebagai tolok ukur bagi tercapainya
modernisasi, maka harus disiapkan melalui penguasaan basic
science, yaitu matematika, fisika, kimia, dan biologi dengan
penyediaan dana dan fasilitas dalam skala prioritas utama (Koento
Wibisono, 1985).
Bersamaan dengan itu logico
positivisme, yaitu sebuah model epistemologi yang dalam langkah-langkah
progresifnya menempuh jalan : observasi, eksperimentasi, dan komparasi,
sebagaimana diterapkan dalam penelitian ilmu alam, mendapatkan
apresiasi yang berlebihan sehingga model ini juga mulai
dikembangkan dalam penelitian-penelitian ilmu-ilmu sosial.
Logico positivisme merupakan model atau teknik
penelitian yang menggunakan presisi, verifiabilitas, konfirmasi, dan
eksperimentasi dengan derajat optimal, bermaksud agar sejauh mungkin
dapat melakukan prediksi dengan derajat ketepatan optimal pula. Dengan demikian
keberhasilan dan kebenaran ilmiah diukur secarapositivistik. Dalam arti
yang benar dan yang nyata haruslah konkrit, eksak, akurat, dan memberi
kemanfaatan. Akibatnya adalah bahwa dimensi-dimensi kehidupan yang abstrak dan
kualitatif yang justru menjadi basis eksistensi kehidupan manusia menjadi
terabaikan atau terlepas dari pengamatan. Kebenaran dan kenyataan diukur serta
dimanipulasikan secara positivistik kuantitatif. Keresahan dan penderitaan
seseorang atau masyarakat tidak tersentuh. Masalah
obyektivitas menjadi tema-tema unggulan dalam kehidupan keseharian manusia saat
ini, dengan mengandalkan penjelasan validitas kebenarannya secara
matematis melalui angka-angka statistik. Langkah metodis semacam ini
sering penuh dengan rekayasa dan kuantifikasi yang dipaksakan sehingga
tidak menjangkau akar-akar permasalahannya
Kritik dan koreksi
terhadap positivisme banyak dilancarkan, karena sifatnya yang naturalistik dan
deterministik. Manusia dipandang hanya sebagaidependent variable, dan
bukan sebagai independent variable. Manusia bukan lagi pelaku utama
yang menentukan, tetapi obyek yang diperlakukan oleh ilmu dan teknologi.
Wilhem Dilthey ( 1833-1911) megajukan klasifikasi,
membagi ilmu ke dalam Natuurwissenchaft danGeisteswissenchaft.
Kelompok
pertama sebagai Science of the World menggunakan metode
Erklaeren, sedangkan kelompok kedua adalah Science of Geist
menggunakan metode Verstehen. Kemudian Juergen Habermas, salah
seorang tokoh mazhab Frankfrut (Jerman) mengajukan klasifikasi lain lagi
dengan the basic human interest sebagai dasar, dengan
mengemukakan klasifikasi ilmu-ilmu empiris-analitis,
sosial-kritis dan historis-hermeneutik, yang masing-masing
menggunakan metode empiris, intelektual rasionalistik, dan
hermeneutik (Van Melsen,1985).
Adanya faktor heuristik mendorong
lahirnya cabang-cabang ilmu yang baru seperti : ilmu lingkungan, ilmu komputer,
futurologi, sehingga berapapun jumlah pengklasifikasian pasti akan kita jumpai,
seperti yang kita lihat dalam kehidupan perguruan tinggi dengan munculnya
berbagai macam fakultas dan program studi yang baru.
Ilmu pengetahuan dalam
perkembangannya dewasa ini beserta anak-anak kandungnya, yaitu
teknologi bukan sekedar sarana bagi kehidupan umat manusia. Iptek kini telah
Menjadi sesuatu yang
substansial, bagian dari harga diri (prestige) dan mitos, yang akan menjadi
survival suatu bangsa, prasyarat
(prerequisite) untuk mencapai
kemajuan (progress) dan kedigdayaan (power) yang
dibutuhkan dalam hubungan antar sesama bangsa. Dalam kedudukannya yang
substansif tersebut, Iptek telah menyentuh semua segi dan sendi kehidupan
secara ekstensif, dan pada gilirannya mengubah budaya manusia secara intensif.
Fenomena perubahan tersebut tercermin dalam masyarakat kita yang dewasa ini
sedang mengalami masa transisi simultan, yaitu:
- Masa transisi masyarakat
berbudaya agraris-tradisional menuju masyarakat dengan budaya industri modern. Dalam masa transisi ini peran mitos mulai diambil alih oleh logos
(akal pikir). Bukan lagi melalui kekuatan kosmis yang secara mitologis
dianggap sebagai penguasa alam sekitar, melainkan sang akal pikir dengan
kekuatan penalarannya yang handal dijadikan kerangka acuan untuk meramalkan dan
mengatur kehidupan. Pandangan mengenai ruang dan waktu, etos kerja,
kaedah-kaedah normatif yang semula menjadi panutan,
bergeser mencari format baru yang dibutuhkan untuk melayani masyarakat
yang berkembang menuju masyarakat industri. Filsafat“sesama bus kota tidak
boleh saling mendahului” tidak berlaku lagi. Sekarang yang dituntut adalah prestasi, siap pakai,
keunggulan kompetitif, efisiensi dan produktif-inovatif-kreatif.
- Masa transisi budaya
etnis-kedaerahan mrnuju budaya nasional kebangsaan Puncak-puncak kebudayaan
daerah mencair secara konvergen menuju satu kesatuan pranata kebudayaan
demi tegak-kokohnya suatu negara kebangsaan (nation state) yang
berwilayah dari Sabang sampai Merauke. Penataan struktur pemerintahan,
sistem pendidikan, penanaman nilai-nilai etik dan moral secara intensif
merupakan upaya serius untuk membina dan mengembangkan jati diri sebagai satu
kesatuan bangsa.
- Masa transisi
budaya nasional – kebangsaan
menuju budaya global – mondial.Visi, orientasi, dan persepsi mengenai nilai-nilai
universal seperti hak asasi, demokrasi, keadilan, kebebasan, masalah lingkungan
dilepaskan dalam ikatan fanatisme primordial kesukuan, kebangsaan ataupun
keagamaan, kini mengendor menuju ke kesadaran mondial dalam satu kesatuan
sintesis yang lebih konkrit dalam tataran operasional.
Batas-batas sempit menjadi terbuka, eklektis,
namun tetap mentoleransi adanya pluriformitas sebagaimana digerakkan oleh paham post-modernism.
Implikasi globalisasi menunjukkan pula
berkembangnya suatu standarisasi yang sama dalam kehidupan di berbagai bidang.
Negara atau pemerintahandimanapun terlepas dari sistem
ideologi atau sistem sosial yang dimilikinya.
Dipertanyakan apakah hak-hak asasi dihormati, apakah
demokrasi dikembangkan, apakah kebebasan dan keadilan dimiliki oleh setiap
warganya, bagaimana lingkungan hidup dikelola.
Nyatalah bahwa implikasi
globalisasi menjadi semakin kompleks, karena masyarakat
hidup dengan standar ganda. Di satu pihak sementara orang ingin mempertahankan
nilai-nilai budaya lama yang diimprovisasikan untuk melayani perkembangan baru
yang kemudian disebut sebagai lahirnya budaya sandingan (sub-culture),Sedang
dilain pihak muncul tindakan-tindakan yang bersifat melawan terhadap
perubahan-perubahan yang dirasakan sebagai penyebab kegerahan dan keresahan
dari mereka yang merasa dipinggirkan, tergeser dan tergusur dari tempat ke
tempat, dari waktu ke waktu, yang disebut sebagai budaya tandingan (counter-culture).
- Bebrapa aspek
dalam ilmu pengetahuan
Melalui
kajian historis tersebut yang pada hakekatnya pemahaman tentang sejarah
kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan, dapat dikonstatasikan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung dua
aspek, yaitu aspek fenomenal dan aspek struktural.
Aspek fenomenal menunjukan bahwa ilmu pengetahuan
mewujud / memanifestasikan dalam bentuk masyarakat, proses, dan
produk. Sebagai masyarakat,
ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai suatu masyarakat atau kelompok
elit yang dalam kehidupan kesehariannya begitu mematuhi kaedah-kaedah ilmiah
yang menurut paradigma Merton disebutuniversalisme,
komunalisme, dan skepsisme yang teratur dan
terarah. Sebagai proses, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai
aktivitas atau kegiatan kelompok elit tersebut dalam upayanya untuk menggali
dan mengembangkan ilmu melalui penelitian, eksperimen, ekspedisi, seminar,
kongres. Sedangkan sebagai produk, ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai
hasil kegiatan kelompok elit tadi berupa teori, ajaran, paradigma,
temuan-temuan lain sebagaimana disebarluaskan melalui karya-karya publikasi
yang kemudian diwariskan kepada masyarakat dunia.
Aspek struktural
menunjukkan bahwa ilmupengetahuan di dalamnya
terdapat unsur- unsur sebagai berikut:
- Sasaran yang dijadikan obyek untuk diketahui(Gegenstand);
- Obyek sasaran ini terus-menerus dipertanyakan
dengan suatu cara (metode) tertentu tanpa mengenal titik henti. Suatu
paradoks bahwa ilmu pengetahuan yang akan
terus berkembang justru muncul permasalahan – permasalahan baru yang
mendorong untuk terus menerus mempertanyakannya.
- Ada alasan dan
motivasi mengapa gegenstand itu terus- menerus dipertanyakan.
- Jawaban-jawaban yang diperoleh
kemudian disusun dalam suatu kesatuan sistem (Koento Wibisono,
1985).
Dengan Renaissance dan Aufklaerung ini,
mentalitas manusia Barat mempercayai akan kemampuan rasio yang menjadikan
mereka optimis, bahwa segala sesuatu dapat diketahui, diramalkan, dan dikuasai.
Melalui optimisme ini, mereka selalu berpetualang untuk melakukan
penelitian secara kreatif dan inovatif.
Ciri khas yang
terkandung dalam ilmu pengetahuan adalah rasional, antroposentris, dan
cenderung sekuler, dengan suatu etos kebebasan (akademis dan mimbar akademis).
Konsekuensi yang
timbul adalah dampak positif dan negatif. Positif, dalam arti
kemajuan ilmu pengetahuan telah mendorong
kehidupan manusia ke suatu kemajuan(progress, improvement) dengan
teknologi yang dikembangkan dan telah menghasilkan
kemudahan-kemudahan yang semakin canggih bagi upaya manusia untuk meningkatkan
kemakmuran hidupnya secara fisik- material.
Negatif dalam arti ilmu pengetahuan telah
mendorong berkembangnya arogansi ilmiah dengan menjauhi nilai-nilai agama,
etika yang akibatnya dapat menghancurkan kehidupan manusia sendiri.
Akhirnya tidak dapat dipungkiri, ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempunyai kedudukan substantif dalam kehidupan manusia saat ini. Dalam kedudukan substantif itu ilmu pengetahuan dan teknologi telah menjangkau kehidupan manusia dalam segala segi dan sendinya secara ekstensif, yang pada gilirannya ilmu pengetahuan dan teknologi merubah kebudayaan manusia secara intensif.
Pilar penyangga bagi eksistensi ilmu pengetahuan
- Pilar ontology
Selalu menyangkut problematika tentang keberadaan (eksistensi). - Aspek kuantitas : Apakah yang ada itu tunggal, dual atau plural (monisme, dualisme, pluralisme )
- Aspek kualitas (mutu, sifat) : bagaimana batasan, sifat, mutu dari sesuatu ( mekanisme, teleologisme, vitalisme dan organisme)
Pengalaman ontologis dapat memberikan landasan bagi
penyusunan asumsi, dasar-dasar teoritis, dan membantu terciptanya komunikasi
interdisipliner dan multidisipliner. Membantu pemetaan masalah, kenyataan,
batas-batas ilmu dan kemungkinan kombinasi antar ilmu. Misal masalah krisis
moneter, tidak dapat hanya ditangani oleh ilmu ekonomi saja. Ontologi
menyadarkan bahwa ada kenyataan lain yang tidak mampu dijangkau oleh ilmu
ekonomi, maka perlu bantuan ilmu lain seperti politik, sosiologi.
- Pilar epistemologi (epistemology)
Selalu
menyangkut problematika teentang sumber pengetahuan, sumber kebenaran, cara
memperoleh kebenaran, kriteria kebenaran, proses, sarana, dasar-dasar
kebenaran, sistem, prosedur, strategi. Pengalaman epistemologis dapat
memberikan sumbangan bagi kita : - sarana legitimasi bagi ilmu/menentukan keabsahan disiplin
ilmu tertentu
- memberi kerangka acuan metodologis pengembangan ilmu
- mengembangkan ketrampilan proses
- mengembangkan daya kreatif dan inovatif.
- Pilar aksiologi (axiology)
Selalu berkaitan dengan problematika
pertimbangan nilai (etis, moral, religius) dalam setiap penemuan, penerapan
atau pengembangan ilmu. Pengalaman aksiologis dapat memberikan dasar dan arah
pengembangan ilmu, mengembangkan etos keilmuan seorang profesional dan ilmuwan
(Iriyanto Widisuseno, 2009). Landasan pengembangan ilmu secara imperative
mengacu ketiga pilar filosofis keilmuan tersebut yang bersifat integratif dan
prerequisite.
Prinsip-prinsip berpikir ilmiah
- Objektif: Cara memandang masalah apa adanya, terlepas dari faktor-faktor subjektif (misal : perasaan, keinginan, emosi, sistem keyakinan, otorita) .
- Rasional: Menggunakan akal sehat yang dapat dipahami dan diterima oleh orang lain. Mencoba melepaskan unsur perasaan, emosi, sistem keyakinan dan otorita.
- Logis: Berfikir dengan menggunakan azas logika/runtut/konsisten, implikatif. Tidak mengandung unsur pemikiran yang kontradiktif. Setiap pemikiran logis selalu rasional, begitu sebaliknya yang rasional pasti logis.
- Metodologis: Selalu menggunakan cara dan metode keilmuan yang khas dalam setiap berfikir dan bertindak (misal: induktif, dekutif, sintesis, hermeneutik, intuitif).
- Sistematis: Setiap cara berfikir dan bertindak menggunakan tahapan langkah prioritas yang jelas dan saling terkait satu sama lain. Memiliki target dan arah tujuan yang jelas
.
- Masalah nilai
dalam iptek.
- Keserbamajemukan ilmu pengetahuan dan
persoalannya
Salah satu kesulitan terbesar yang
dihadapi manusia dewasa ini adalah keserbamajemukan ilmu itu sendiri. Ilmu pengetahuan tidak lagi
satu, kita tidak bisa mengatakan inilah satu-satunya ilmu pengetahuan yang
dapat mengatasi problem manusia dewasa ini. Berbeda dengan ilmu pengetahuan,
masa lalu lebih menunjukkan kepekaannya daripada kebhinekaannya. Seperti
pada awal perkembangan ilmupengetahuan berada dalam kesatuan filsafat.
Proses perkembangan ini menarik
perhatian karena justru bertentangan
dengan inspirasi tempat pengetahuan itu sendiri, yaitu keinginan manusia untuk
mengadakan kesatuan di dalam keserbamajemukan gejala-gejala di dunia kita ini.
Karena yakin akan kemungkinannya maka timbullah ilmu pengetahuan. Secara
metodis dan sistematis manusia mencari azas-azas sebagai dasar untuk memahami
hubungan antara gejala-gejala yang satu dengan yang lain sehingga bisa
ditentukan adanya keanekaan di dalam kebhinekaannya. Namun dalam
perkembangannya, ilmu pengetahuan berkembang ke arah
keserbamajemukan ilmu.
- Mengapa timbul spesialisasi?
Mengapa spesialisasi ilmu semakin meluas? Misalnya dalam ilmu
kedokteran dan ilmu alam. Makin meluasnya spesialisasi ilmu dikarenakan ilmu
dalam perjalanannya selalu mengembangkan macam metode, objek dan tujuan.
Perbedaan metode dan pengembangannya itu perlu demi kemajuan tiap-tiap ilmu.
Tidak mungkin metode dalam ilmu alam dipakai memajukan ilmu psikologi. Kalau
psikologi mau maju dan berkembang harus mengembangkan metode, objek dan
tujuannya sendiri. Contoh ilmu yang berdekatan, biokimia dan kimia umum
keduanya memakai ”hukum” yang dapat dikatakan sama, tetapi seorang sarjana
biokimia perlu pengetahuan susunan bekerjanya organisme organisme yang tidak
dituntut oleh seorang ahli kimia organik. Hal ini agar supaya biokimia semakin
maju dan mendalam, meskipun tidak diingkari antara keduanya masih mempunyai
dasar-dasar yang sama.
Spesialisasi ilmu memang harus ada di dalam satu cabang ilmu,
namun kesatuan dasar azas-azas universal harus diingat dalam rangka
spesialisasi. Spesialisasi ilmu membawa persoalan banyak bagi ilmuwan sendiri
dan masyarakat. Ada kalanya ilmu itu diterapkan dapat memberi manfaat bagi
manusia, tetapi bisa sebaliknya merugikan manusia. Spesialisasi di samping
tuntutan kemajuan ilmu juga dapat meringankan beban manusia untuk menguasai
ilmu dan mencukupi kebutuhan hidup manusia. Seseorang tidak mungkin menjadi
generalis, yaitu menguasai dan memahami semua ilmu pengetahuan yang ada
(Sutardjo,1982).
- Persoalan yang timbul dalam spesialisasi
Spesialisasi mengandung
segi-segi positif, namun juga dapat menimbulkan segi negatif. Segi positif
ilmuwan dapat lebih fokus dan intensif dalam melakukan kajian dan pengembangan
ilmunya. Segi negatif, orang yang mempelajari ilmu spesialis merasa terasing
dari pengetahuan lainnya. Kebiasaan cara kerja fokus dan intensif membawa
dampak ilmuwan tidak mau bekerjasama dan menghargai ilmu lain. Seorang
spesialis bisa berada dalam bahaya mencabut ilmu pengetahuannya dari rumpun
keilmuannya atau bahkan dari peta ilmu, kemudian menganggap ilmunya otonom dan
paling lengkap. Para spesialis dengan otonomi keilmuannya sehingga tidak tahu
lagi dari mana asal usulnya, sumbangan apa yang harus diberikan bagi manusia
dan ilmu-ilmu lainnya, dan sumbangan apa yang perlu diperoleh dari ilmu-ilmu
lain demi kemajuan dan kesempurnaan ilmu spesialis yang dipelajari atau
dikuasai.
Bila keterasingan yang timbul
akibat spesialisasi itu hanya mengenai ilmu pengetahuan tidak sangat berbahaya.
Namun bila hal itu terjadi pada manusianya, maka akibatnya bisa mengerikan
kalau manusia sampai terasing dari sesamanya dan bahkan dari dirinya karena
terbelenggu oleh ilmunya yang sempit. Dalam praktik praktik ilmu spesialis
kurang memberikan orientasi yang luas terhadap kenyataan dunia ini, apakah
dunia ekonomi, politik, moral, kebudayaan, ekologi dll.
Persoalan tersebut bukan
berarti tidak terpecahkan, ada kemungkinan merelativisir jika ada kerjasama
ilmu ilmu pengetahuan dan terutama di antara ilmuwannya. Hal ini tidak akan
mengurangi kekhususan tiap-tiap ilmu pengetahuan, tetapi akan memudahkan
penempatan tiap tiap ilmu dalam satu peta ilmu pengetahuan manusia. Keharusan
kerjasama ilmu sesuai dengan sifat social manusia dan segala kegiatannya.
Kerjasama seperti itu akan membuat para ilmuwan memiliki cakrawala pandang yang
luas dalam menganalisis dan melihat sesuatu. Banyak segi akan dipikirkan
sebelum mengambil keputusan akhir apalagi bila keputusan itu menyangkut manusia
sendiri.
- Dimensi moral dalam pengembangan dan penerapan
ilmu pengetahuan
Tema ini membawa kita ke arah pemikiran:
- apakah ada kaitan antara moral atau etika
dengan ilmu pengetahuan,
- saat mana dalam pengembangan ilmu memerlukan
pertimbangan moral/etik?
Akhir-akhir ini banyak disoroti segi etis
dari penerapan ilmu dan wujudnya yang paling nyata pada jaman ini adalah
teknologi, maka pertanyaan yang muncul adalah mengapa kita mau mengaitkan soal
etika dengan ilmu pengetahuan? Mengapa ilmu pengetahuan yang makin
diperkembangkan perlu ”sapa menyapa” dengan etika? Apakah ada ketegangan ilmu
pengetahuan, teknologi dan moral? Untuk menjelaskan permasalahan tersebut ada
tiga tahap yang perlu ditempuh. Pertama, kita melihat kompleksitas permasalahan
ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan manusia.
Kedua,membicarakan dimensi etis serta kriteria etis yang diambil. Ketiga,
berusaha menyoroti beberapa pertimbangan sebagai semacam usulan jalan keluar
dari permasalahan yang muncul.
- Permasalahan pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
Kalau perkembangan ilmu pengetahuan
sungguhsungguh menepati janji awalnya 200 tahun yang lalu, pasti orang tidak
akan begitu mempermasalahkan akibat perkembangan ilmu pengetahuan. Bila
penerapan ilmu benar-benar merupakan sarana pembebasan manusia dari
keterbelakangan yang dialami sekitar 1800-1900an dengan menyediakan ketrampilan
”know how” yang memungkinkan manusia dapat mencari nafkah sendiri tanpa
bergantung pada pemilik modal, maka pendapat bahwa ilmu pengetahuan harus
dikembangkan atas dasar patokan-patokan ilmu pengetahuan itu sendiri (secara
murni) tidak akan mendapat kritikan tajam seperti pada abad ini. Namun dewasa
ini menjadi nyata adanya keterbatasan ilmu pengetahuan itu menghadapi
masalahmasalah yang menyangkut hidup serta pribadi manusia. Misalnya, menghadapi soal
transplantasi jantung, pencangkokan genetis, problem mati hidupnya seseorang,
ilmu pengetahuan menghadapi keterbatasannya. Ia butuh kerangka pertimbangan
nilai di luar disiplin ilmunya sendiri. Kompleksitas permasalahan dalam
pengembangan ilmu dan teknologi kini menjadi pemikiran serius, terutama
persoalan keterbatasan ilmu dan teknologi dan akibatakibatnyabagi manusia.
Mengapa orang kemudian berbicara soal etika dalam ilmu pengetahuan dan
teknologi?
- Akibat teknologi pada perilaku manusia
Akibat teknologi pada perilaku manusia muncul dalam fenomen
penerapan kontrol tingkah laku (behavior control). Behaviour control merupakan kemampuan untuk
mengatur orang melaksanakan tindakan seperti yang dikehendaki oleh si pengatur
(the ability to get some one to do one’s bidding).
Pengembangan teknologi yang mengatur perilaku manusia ini
mengakibatkan munculnya masalah masalah etis seperti berikut.
- Penemuan teknologi yang mengatur perilaku ini
menyebabkan kemampuan perilaku seseorang diubah dengan operasi dan manipulasi
syaraf otak melalui ”psychosurgery’s infuse” kimiawi, obat bius
tertentu. Electrical stimulation mampu merangsang secara baru
bagian-bagian penting, sehingga kelakuan bias diatur dan disusun. Kalau begitu
kebebasan bertindak manusia sebagai suatu nilai diambang kemusnahan.
- Makin dipacunya penyelidikan dan pemahaman
mendalam tentang kelakuan manusia, memungkinkan adanya lubang manipulasi, entah
melalui iklan atau media lain.
- Pemahaman “njlimet” tingkah laku
manusia demi tujuan ekonomis, rayuan untuk menghirup kebutuhan baru sehingga
bisa mendapat untung lebih banyak, menyebabkan penggunaan media (radio, TV)
untuk mengatur kelakuan manusia.
- Behaviour control memunculkan masalah etis bila
kelakuan seseorang dikontrol oleh teknologi dan bukan oleh si subjek itu
sendiri. Konflik muncul justru karena si pengatur memperbudak orang yang
dikendalikan, kebebasan bertindak si kontrol dan diarahkan menurut kehendak si
pengontrol.
- Akibat teknologi pada eksistensi manusia
dilontarkan oleh Schumacher. Bagi Schumacher eksistensi sejati manusia adalah
bahwa manusia menjadi manusia justru karena ia bekerja. Pekerjaan bernilai
tinggi bagi manusia, ia adalah ciri eksistensial manusia, ciri kodrat
kemanusiaannya. Pemakaian teknologi modern condong mengasingkan manusia dari
eksistensinya sebagai pekerja, sebab di sana manusia tidak mengalami kepuasan
dalam bekerja. Pekerjaan tangan dan otak manusia diganti dengan tenaga-tenaga
mesin, hilanglah kepuasan dan kreativitas manusia (T. Yacob, 1993).
- Beberapa pokok nilai yang perlu diperhatikan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Ada empat
hal pokok agar ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan secara konkrit,
unsur-unsur mana yang tidak boleh dilanggar dalam pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam masyarakat agar masyarakat itu tetap manusiawi.
- Rumusan hak azasi merupakan
sarana hukum untuk menjamin penghormatan terhadap manusia. Individu individu
perlu dilindungi dari pengaruh penindasan ilmu pengetahuan.
- Keadilan dalam bidang sosial, politik, dan
ekonomi sebagai hal yang mutlak. Perkembangan teknologi sudah membawa akibat
konsentrasi kekuatan ekonomi maupun politik. Jika kita ingin memanusiawikan
pengembangan ilmu dan teknologi berarti bersedia mendesentralisasikan monopoli
pengambilan keputusan dalam bidang politik, ekonomi. Pelaksanaan keadilan harus
memberi pada setiap individu kesempatan yang sama menggunakan hak-haknya.
- Soal lingkungan hidup. Tidak ada seorang pun
berhak menguras/mengeksploitasi sumber-sumber alam dan manusiawi tanpa
memperhatikan akibat-akibatnya pada seluruh masyarakat. Ekologi mengajar kita
bahwa ada kaitan erat antara benda yang satu dengan benda yang lain di alam
ini.
- Nilai manusia sebagai pribadi. Dalam dunia
yang dikuasai teknik, harga manusia dinilai dari tempatnya sebagai salah satu
instrumen sistem administrasi kantor tertentu. Akibatnya manusia dinilai bukan
sebagai pribadi tapi lebih dari sudut kegunaannya atau hanya dilihat sejauh ada
manfaat praktisnya bagi suatu sistem. Nilai sebagai pribadi berdasar hubungan
sosialnya, dasar kerohanian dan penghayatan hidup sebagai manusia
dikesampingkan. Bila pengembangan ilmu dan teknologi mau manusiawi, perhatian
pada nilai manusia sebagai pribadi tidak boleh kalah oleh mesin. Hal ini
penting karena sistem teknokrasi cenderung dehumanisasi (T. Yacob, 1993).
- Strategi Pengembangan IPTEK
Pancasila Sebagai Dasar Nilai
Peran nilai-nilai dalam setiap
sila dalam Pancasila adalah sebagai berikut.
- Sila Ketuhanan Yang Maha Esa:
melengkapi ilmu pengetahuan menciptakan perimbangan antara yang rasional dan
irasional, antara rasa dan akal. Sila ini menempatkan manusia dalam alam
sebagai bagiannya dan bukan pusatnya.
- Sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab: memberi arah dan mengendalikan ilmu pengetahuan. Ilmu dikembalikan
pada fungsinya semula, yaitu untuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok,
lapisan tertentu.
- Sila Persatuan Indonesia:
mengkomplementasikan universalisme dalam sila-sila yang lain, sehingga supra
sistem tidak mengabaikan sistem dan sub-sistem. Solidaritas dalam sub-sistem
sangat penting untuk kelangsungan keseluruhan individualitas, tetapi tidak
mengganggu integrasi.
- Sila
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, mengimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan
teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan
penyebaran ilmu pengetahuan harus demokratis dapat dimusyawarahkan secara
perwakilan, sejak dari kebijakan, penelitian sampai penerapan massal.
- Sila keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, menekankan ketiga keadilan Aristoteles: keadilan
distributif, keadilan kontributif, dan keadilan komutatif. Keadilan sosial juga
menjaga keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat, karena
kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan semu. Individualitas
merupakan landasan yang memungkinkan timbulnya kreativitas dan inovasi.
Pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi harus senantiasa berorientasi pada nilai-nilai
Pancasila. Sebaliknya Pancasila dituntut terbuka dari kritik, bahkan ia
merupakan kesatuan dari perkembangan ilmu yang menjadi tuntutan peradaban
manusia. Peran Pancasila sebagai paradigma pengembangan ilmu harus sampai pada
penyadaran, bahwa fanatisme kaidah kenetralan keilmuan atau kemandirian ilmu
hanyalah akan menjebak diri seseorang pada masalah-masalah yang tidak dapat
diatasi dengan semata-mata berpegang pada kaidah ilmu sendiri, khususnya
mencakup pertimbangan etis, religius, dan nilai budaya yang bersifat mutlak
bagi kehidupan manusia yang berbudaya
Pancasila
sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi:
- Pengembangan iptek diarahkan untuk mencapai kebahagian lahir
batin, memenuhi kebutuhan material dan spiritual
- Pengembangan iptek mempertimbangkan aspek estetik dan
moral
- Pengembangan iptek pada hakekatnya tidak boleh bebas
nilai tetapi terikat pada nilai-nilai yang berlaku di masyarakat
- Pembangunan iptek mempertimbangkan akal, rasa dan kehendak
- Pembangunan iptek bukan untuk kesombongan melainkan untuk
peningkatan kualitas manusia, peningkatan harkat dan martabat manusia